Kepada sang pujangga

Dalam desah hembus angin pagi menyapa
Mengetuk sendi tubuhku menari
Sudah lama aku lupa tersenyum pada bunga
Jiwaku terlalu sibuk menggapai matahari
Terkubur waktu menghitung detaknya terus melaju
Terbersit rindu mengurai kalbu
Berlabuh cinta dalam untaian kata

Duhai angin… ijinkan aku menyapa
Pada sang pujangga di pesisir timur negeri
Tempat sampan menari dengan ombak
Kabarkan padanya…
Tidak sedikitpun jiwaku mati
Aku masih di sini
Menikmati embun dari jendela terbuka setiap pagi

suffer decease…

Dan keringat dingin ini berjatuhan perlahan… menghantam alas kepalaku yang tak enak lagi kusandari, karena busanya sudah mulai melapuk. Getaran tubuh ini tak bisa lagi ku tahan, seolah tengah terjadi sebuah pertempuran dalam tubuhku yang begitu dasyat. Seluruh tubuh menjadi tempat tujuan akhir dari rasa dingin yang terus menusuk kulit sampai ke persendian… terlebih kamarku mulai menjadi planet Mars, karena O2 begitu sulit ku raih dengan hidungku… tubuhku hanyalah seongok daging tak bertulang… kakiku tak sanggup lagi menahan beban… tanganku tak mampu lagi mengangkat gelas minum hingga airnya tumpah sebagian…

Untuk sang malam perlahan beranjak pagi, yang tak bisa ku hentikan…

Untuk segala kasih-Mu, atas tubuh ini yang begitu sombong… tak lagi bisa membedakan siang dan malam…

Untuk segala kekuasaan-Mu, atas semua keinginan duniawi yang meracuni pikiranku… hingga aku mulai melupakan-Mu…

Ya Allah… mungkin sakit ini adalah teguran yang Kau berikan… aku ikhlas…

Kembali datang…

Aku setitik debu dalam cawan madu
Aku sehelai rambut dalam sanggul sang ibu
Aku sehela napas dalam hidup
Aku sebercik air dalam lautan
Aku tak sanggup menjadi siapa-siapa
Aku tak sanggup menjadi apa-apa
Aku hanyalah kata kesombongan
Jika semuanya diambil oleh-Mu
Maka dekaplah aku …
Maka sentuhlah aku….
Maka kuatkanlah aku….
Hingga aku bisa kembali menyapanya
Hingga aku aku bisa kembali menemuinya
Bulan suci pemberian-Mu
Setidaknya di Ramadhan Tahun ini…